Minggu, 16 Maret 2008

Sekber BMI: Tegakkan Keadilan bagi Buruh Migran Indonesia!

Kekerasan yang menimpa Tari binti Tarsim, 27, dan Ruminih binti Surtim, 25, buruh migrant Indonesia yang bekerja di Arab Saudi kembali menyibak kelemahan-kelemahan Pemerintah Indonesia dalam memberikan perlindungan maksimum bagi seluruh warga negara, khususnya bagi BMI. Tindakan kekerasan terhadap Tari binti Tarsim dan Ruminih binti Surtim—yang masing-masing dikirim oleh PT Arya Duta Bersama dan PT Amri Margatama—terjadi di rumah keluarga besar Yahya Majeed Syagatir, pemilik sebuah peternakan, di kawasan Aflah, tiga kilometer dari Riyadh, ibu kota Arab Saudi. Selain Tari binti Tarsim dan Ruminih binti Surtim, kasus kekerasan berupa penganiayaan yang mengakibatkan kematian juga menimpa dua BMI perempuan, yakni Siti Tarwiyah binti Slamet dan Susmiati binti Abdul Fulan (Pos Kota, Kamis 6 Maret 2008)


Kasus ini bukanlah yang pertama dan sepertinya tidak akan pula menjadi kasus terakhir, kekerasan yang dialami BMI. Sebagaimana halnya kasus-kasus kekerasan sebelumnya, faktor yang mendorong terjadinya kekerasan-kekerasan seperti ini adalah tidak bekerjanya instrumen-instrumen perlindungan BMI yang dikelola pemerintah RI. Selain karena cenderung pasif, pemerintah juga terkesan tidak berani melakukan terobosan-terobosan kebijakan diplomatik, khususnya untuk menekan pihak Pemerintah Kerajaan Arab Saudi menandatangani perjanjian bilateral penempatan tenaga kerja Indonesia yang berbasis pada pengakuan dan perlindungan atas hak-hak dasar buruh migrant. Sampai saat ini, masyarakat sepertinya belum pernah mendengar adanya Memorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah Indonesia dengan Kerajaan Arab Saudi yang mengatur masalah penempatan BMI di negeri tersebut.

Berdasarkan UU Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, hak pengelolaan hari ke hari masalah penempatan BMI di Arab Saudi diserahkan pada pihak swasta—PJTKI dan agensi di Arab Saudi—yang dalam banyak hal justru cenderung melampaui bahkan melanggar ketentuan-ketentuan prinsip yang ditetapkan pemerintah. Perlindungan terhadap BMI adalah kewajiban konstitusional yang diemban pemerintah—selaku pemangku kekuasaan negara—dan tidak bisa di-swastanisasi-kan.

“Swastanisasi” atau “privatisasi” perlindungan hak terhadap BMI adalah kenyataan yang sama sekali tidak bisa kami terima dan akan terus kami gugat, sebab menempatkan komponen-komponen prinsipil hak asasi manusia dan hak asasi buruh migrant Indonesia sebagai komoditi yang nilainya bergantung pada dinamika pasar. Tindakan PT Arya Duta Bersama dan PT Amri Margatama yang tidak melakukan evaluasi dan langkah-langkah preventif dengan mengeluarkan Tari dan Rumih dari lingkungan keluarga besar Yahya Majeed Syagatir adalah salah satu bentuk contoh buruk akibat dominannya posisi pihak PJTKI selaku penyalur di atas BMI, bahkan di atas pemerintah.

Di tengah keadaan seperti ini, BMI pada umumnya, tidak diberikan keleluasaan untuk membentuk mekanisme pertahanan diri yang didasarkan pada kekuatan dirinya sendiri. Hingga saat ini, hak untuk berserikat bagi BMI, khususnya yang bekerja di Arab Saudi, tidak pernah diberikan. Selain itu, hak-hak lain; seperti hak untuk mendapatkan cuti, upah layak yang bebas dari berbagai potongan yang memberatkan, hak untuk terbebas dari tindakan xenophobia (anti orang asing), hak untuk terbebas dari segala tindakan kekerasan, hak untuk mendapatkan pembelaan yang adil dalam peradilan, serta hak-hak dasar lainnya bagi BMI, juga kerap tidak diperoleh.

Karena biaya penempatan yang terlampau tinggi dan besarnya kewenangan PJTKI dan agensi dalam menetapkan besarnya potongan gaji, tidak jarang menempatkan BMI dalam posisi seperti “bonded-labor” yang secara sosial tidak lebih dari sekadar “budak”. Rendahnya posisi tawar BMI seperti inilah yang kerap menyebabkannya berada dalam keadaan yang sangat rentan atas berbagai tindakan pelanggaran, kekerasan, pembunuhan, pemerkosaan, dan tindakan-tindakan lain yang merendahkan derajat kemanusiaan.

Keadaan inilah yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak menghendaki adanya perbaikan perlindungan bagi buruh migrant. Pihak-pihak tersebut memanfaatkan kelemahan posisi tawar BMI demi keuntungan ekonomi sesaat. Kabar mengenai adanya uang santunan sebesar US$ 4000 (sekitar Rp 32 juta) yang diberikan Yayasan Paramitra patut diduga sebagai salah satu bentuk dari upaya untuk mengambil keuntungan dari keterpurukan posisi BMI. Bukan tidak mungkin, upaya ini justru memberikan keleluasaan kepada pelaku kekerasan dan PJTKI untuk terbebas dari berbagai sanksi dan tanggungjawab karena merasa telah memberikan kompensasi yang sepadan terhadap BMI. Padahal, tindakan kekerasan seperti penganiayaan yang dialami Tari dan Ruminih adalah perkara pidana yang upaya penuntutannya dan penegakkan keadilan bagi korban hak korban yang harus dipenuhi oleh negara mana pun.

Sikap Tari binti Tarsim dan Ruminih binti Surtim yang menerima dana santunan tersebut semakin menunjukkan bahwasanya kedua BMI perempuan yang menjadi korban tersebut tidak berada dalam keadaan yang mandiri dalam menentukan sikapnya sendiri. Penerimaan santunan sebesar Rp 32 juta dari Yayasan Paramitra itu pun bisa ditafsirkan sebagai salah satu respon untuk mengantisipasi berbagai beban biaya dan utang yang kerap menimpa BMI akibat serangkaian biaya yang harus dikeluarkan para BMI sejak perekrutan, penampungan dan pelatihan, penempatan, hingga pemulangan dan repatriasi dengan keluarga asal.

Upaya pemerintah melalui Departemen Luar Negeri RI yang memulangkan kedua korban pada saat ketika proses hukum belum dilakukan akan bisa memberikan keuntungan-keuntungan hukum bagi pelaku karena korban tidak lagi bisa memberikan kesaksian secara langsung dalam proses pengadilan yang akan dilaksanakan di Arab Saudi. Dengan berpegang pada prinsip hak asasi manusia, upaya pemerintah yang cenderung menguntungkan pelaku tindakan kriminal, bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM.

Tindakan Pemerintah melalui Departemen Luar Negeri RI juga cenderung “menguntungkan” posisi Kerajaan Arab Saudi yang dalam beberapa tahun terakhir kerap mendapatkan sorotan dari badan-badan HAM internasional akibat tingginya pelanggaran-pelanggaran HAM terhadap buruh migrant. Dengan kata lain, hal ini juga menunjukkan rendahnya komitmen pemerintah RI atas penegakkan HAM di seluruh dunia. Terlebih, kasus ini pelanggaran ini justru menimpa warga negara Indonesia yang memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan perlindungan yang maksimal dari pemerintah RI.

Atas dasar paparan fakta dan analisis di atas, Sekretariat Bersama Buruh Migran Indonesia berpandangan bahwa;

1. Kekerasan yang dialami Tari binti Tarsim dan Ruminih binti Surtim adalah fenomena dari buruknya kinerja perlindungan hak bagi buruh migrant Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah RI. Fenomena ini dilatarbelakangi oleh beberapa keadaan umum dan keadaan-keadaan khusus, yang seluruhnya disebabkan oleh tidak adanya ketentuan hukum tertulis yang berdasarkan pada pengakuan dan perlindungan hak-hak buruh migrant Indonesia.

Khususnya terkait dengan masalah ini, tindakan pemerintah yang tidak secara serius mendorong adanya pembicaraan bilateral yang mengarah pada lahirnya kesepakatan bersama atau Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah RI dengan Kerajaan Arab Saudi yang berpegang pada prinsip pengakuan dan perlindungan hak buruh migrant adalah penyebab utama dari kasus-kasus kekerasan yang menimpa BMI.

2. Mengacu pada pengalaman tentang tidak efektifnya MoU-MoU bilateral yang disusun pemerintah RI dengan pemerintah dari negara-negara penerima BMI, koreksi fundamental terhadap UU No 39 tahun 2004 serta seluruh klausul MoU-MoU yang sudah ditandatangani berdasarkan UU tersebut harus segera dilakukan. Harus diingat bahwa garis kebijakan pemerintah RI dalam hal penempatan BMI—khususnya yang tertera dalam UU No 39 tahun 2004 dan peraturan-peraturan lain yang dibuat oleh Presiden serta para menteri dan jajarannya masih belum menempatkan pengakuan dan perlindungan hak BMI, bahkan cenderung menempatkan BMI semata-mata sebagai komoditi.

Koreksi tersebut harus menempatkan pengakuan dan perlindungan atas hak dan kepentingan BMI sebagai elemen yang fundamental dan tidak bisa ditawar. Koreksi tersebut juga harus memberikan kesempatan bagi BMI untuk terlibat dalam pembuatan, pengawasan, dan evaluasi kinerja perlindungan buruh migrant yang dilakukan pemerintah RI bersama pemerintah dari negara-negara penerima.

3. Lemahnya posisi tawar mayoritas BMI sesungguhnya disebabkan oleh tingginya beban kewajiban yang dipikul BMI, baik dari keluarga, komunitas, maupun negara. Sampai saat ini, stigma BMI sebagai “sumber uang” masih melekat dan menjadi “penjara” tersendiri bagi para BMI. Beban-beban akibat percaloan, kebijakan biaya penempatan yang terlampau tinggi dan tidak transparan serta tidak pula melalui konsultasi dengan BMI, serta tingginya potongan terhadap upah, yang juga kerap ditambah oleh serangkaian beban dalam proses pemulangan (terminal III), menyebabkan BMI berada dalam keadaan yang sangat buruk, bahkan cenderung mirip dengan budak. Tidak salah bila banyak kalangan menyebut fenomena BMI sebagai bentuk perbudakan paling aktual yang terjadi di era kemerdekaan seperti saat ini.

Untuk itu, kami mendesak DPR untuk segera mendorong pemerintah agar meninjau kebijakan-kebijakan yang terkait dengan biaya penempatan, menindak berbagai bentuk pemotongan illegal, dan membebaskan BMI dari jeratan utang yang muncul dalam proses penempatan BMI. Pemerintah harus memberikan jaminan perlindungan upah dan kerja layak bagi BMI.

Tidak ada komentar: