Rabu, 19 Maret 2008 02:10 WIB
MATARAM--MI: Seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), Nusa Tenggara Barat (NTB) Edi Suparta, 45, yang dituntut hukuman mati dengan cara digantung di Malaysia minta bertemu keluarganya, sebelum eksekusi dilaksanakan.
"Orang tua Edi, yakni Mohamad Seleh beserta ibunya akan berangkat ke Malaysia pada Senin (24/3) didampingi Dinas Tenaga Kerja KSB, LSM dan Dinas Tenaga Kerja Propinsi NTB," kata Kepala Dinas Tenaga Kerja NTB, Drs H Imbang Syahruddin di Mataram, Selasa (18/3).
Di celah kesibukannya menghadiri Rakerda KB Nasional NTB dia menjelaskan, Edi didakwa hukuman gantung, karena dituduh telah melakukan pembunuhan terhadap warga Malaysia pada tahun 2004.
Ketika itu, Edi bersama sejumlah temannya berangkat melalui jalur gelap, ketika dikejar polisi, dia bersembuyi di salah satu rumah penduduk dan bertengkar dengan pemilik rumah akhirnya berkelahi yang mengakibatkan pemilik rumah tewas.
Pihak Kedutaan Besar Indonesia untuk Malaysia telah melakukan upaya hukum dengan memberikan bantuan hukum kepada terdakwa, namun bagaimana hasilnya belum diketahui.
"Menurut rencana pengadilan Malaysia akan memutus atau menjatuhkan hukuman kepada Edi pada April 2008, namun kapan tanggalnya belum ditentukan," katanya.
Dikatakan, minat masyarakat NTB untuk bekerja ke luar negeri terutama Malaysia cukup besar dan rata-rata jumlah calon TKI yang berangkat setiap tahun mencapai 30 ribu orang.
Yang berangkat tersebut melalui jalur resmi atau PJTKI, belum terhitung yang melalui calo atau gelap. Dia mengakui, hingga kini belum mampu memberantas yang namanya calo TKI, karena masyarakatnya juga cepat terpengaruh oleh iming-iming para calo yang menjanjikan cepat berangkat dan gaji besar. (Ant/OL-03)
Selasa, 18 Maret 2008
TKI asal NTB Terancam Hukum Gantung di Malaysia
TKW Banyumas Dipaksa Jadi PSK
[BANYUMAS] Melia Nugrahawati (30) Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Kecamatan Gumelar, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, yang kini tengah bekerja di Serawak Malaysia, mendadak minta dipulangkan ke kampung halamannya, karena ia dipaksa untuk bekerja sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) di negeri tersebut.
"Ia tertarik bekerja di Serawak, karena semula diiming-imingi seorang calo tenaga kerja dengan gaji Rp 1,5 juta per bulan di Serawak," kata ibunda Meli, Napsiah, Selasa (18/3) pagi. Menurut Napsiah, Melia beberapa kali minta pulang atau dijemput di Serawak, karena selalu dipaksa untuk bekerja sebagai PSK.
Berita dari Melia itu disampaikan kepada adiknya Yesti Ujianti (26) dan kepada saudara sepupu lainnya , tiga hari lalu kemudian disampaikan kepada Napsiah.
Teman Melia di Jakarta, juga sudah menemui Katimah agar bertanggung jawab. Namun, Katimah masih mengelak, sehingga ia akan dilaporkan ke Polres Jakarta Timur. Kerabat lain di Banyumas sudah melapor ke Departemen Tenaga Kerja dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Banyumas. [WMO/M-11]
SUARA PEMBARUAN DAILY
Pemerintah Resmikan Gedung Pendataan Kepulangan TKI
Selasa, 18 Maret 2008 11:53 WIB
Reporter : Zubaedah Hanum
JAKARTA--MI: Pemerintah meresmikan gedung pendataan kepulangan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) seluas 30.000 meter persegi, yang dapat menampung 2.000 TKI.
Gedung baru ini terletak di Selapajang, Cengkareng yang berdekatan dengan bandara internasional Soekarno Hatta, Jakarta.
Peresmian tersebut dilakukan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Erman Suparno, di Jakarta, Selasa (18/3). Turut hadir dalam acara itu Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat sejumlah anggota Komisi IX DPR RI, Gubernur provinsi Banten Atut Chosiyah, pemda provinsi DKI Jakarta, Polda Metro Jaya, Pangdam Jaya, Dephub, perwakilan duta besar negara sahabat, organisasi PPTKIS, asuransi dan LSM pemerhati TKI.
"Persemian gedung pendataan kepulangan TKI ini merupakan momentum penting dalam upaya melaksanakan peraturan yang ada," kata Menakertrans.
Peraturan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri dan Inpres Nomor 6 Tahun 2006 tentang Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri.
Erman mengatakan, pemerintah akan terus berupaya meningkatkan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada para TKI yang selama ini menyumbang devisa terbesar bagi negara.
Gedung pendataan kepulangan TKI ini sendiri dibangun melalui persetujuan Menteri Negara BUMN dengan sewa lahan milik PT (Persero) Angkasa Pura II dengan total pembiayaan senilai Rp89,2 miliar.
"Pembiayaannya berasal dari biaya APBN 2005-2007 Depnakertrans," ungkap Erman.
Dia menambahkan, gedung berlantai dua ini memiliki sejumlah fasilitas seperti ruangan antrian pendataan, penyimpanan barang TKI, operator angkutan, pelayanan perjalanan, pelayanan kesehatan, pelayanan pengaduan, tidur transit TKI, kantor bank, kantin, warung telekomunikasi. Selain itu, lahan parkir gedung ini mampu menampung 200 kendaraan, tempat tunggu supir, dan mushola.
Secara bersamaan, Menakertrans juga menandatangani prasasti meresmikan kantor baru BNP2TKI yang terletak di jalan MT Haryono, Pancoran, Jakarta Selatan. (Zhi/OL-02)
Senin, 17 Maret 2008
TKI Asal Karawang Dianiaya Hingga Cacat
Karawang, 17 Maret 2008 10:26
Siti Atikah binti Dakup, 21 tahun, seorang TKI asal Karawang, disiksa majikannya di Damaskus hingga cacat. Ia dituduh selingkuh dengan saudara laki-laki majikan perempuannya.
Akibat penyiksaan bertubi-tubi itu, Siti Atikah mengalami cacat tetap. Kedua kakinya mengecil dan menderita cacat permanen serta tulang punggungnya patah dengan bagian punggung dijahit memanjang sekira 30 centimeter. Selain itu, bagian kepala warga Kampung Cibanjar, RT 15/05 Desa Ciparage Jaya, Kecamatan Tempuran, Karawang itu juga mengalami luka sobek, giginya patah, dan luka memar hampir di seluruh bagian tubuhnya.
Menurut Siti, Ahad (16/3) di Karawang, penyiksaan tersebut dilakukan majikan perempuannya, Suhair binti Muhammad hampir setiap hari selama dia bekerja. "Penyiksaan itu terjadi lebih dari satu setengah tahun, selama saya bekerja di rumah majikan saya itu," katanya.
Menurut dia, majikan perempuannya itu sempat mengancam akan membunuh Siti dengan sebuah pisau agar mengakui perselingkuhannya tersebut.
"Karena takut, saya melompat dari lantai dua apartemen milik majikan. Setelah lompat dari lantai dua itu, saya dibawa ke rumah sakit terdekat ," katanya seraya menambahkan, biaya rumah sakit itu dengan ditanggung sendiri, dari gajinya selama bekerja.
Atas nasib naas yang dialaminya, kini Siti terpaksa harus memakai dua tongkat untuk berjalan.
Setiap kali duduk lama, ia mengaku merasa kesakitan di bagian punggung dan kakinya.
Siti merupakan salah seorang TKW asal Karawang yang berangkat ke Damaskus pada 2004 lalu, melalui PJTKI PT Bina Insan Setia, di Indramayu.
"Saya berangkat dari Indramayu, karena waktu itu rumah suami saya di Indramayu," katanya.
Pada kesempatan terpisah, Kepala Bidang Penempatan dan Perluasan Tenaga Kerja, Disnaker Karawang RM Adil Hati Kosyungan mengaku, pada dasarnya pihaknya akan melakukan pembelaan terhadap nasib naas yang menimpa TKW asal Karawang.
Namun, tambahnya, pihaknya baru melakukan pendataan TKW dan bertugas menangani TKW Karawang pada 2007 lalu. Atas hal tersebut, ia mengaku tidak mengantongi nama Siti sebagai TKW asal Karawang.
"Tapi, kalau pihak keluarga memerlukan bantuan Disnaker untuk memperoleh haknya, kami akan berusaha membantu," katanya. [TMA, Ant]
http://www.gatra.com/artikel.php?id=113102
“Demokrasi dan Hak Asasi Manusia untuk Rakyat Malaysia dan Buruh Migran di Malaysia”
Siaran Pers Migrant CARE
Statement Solidaritas untuk Rakyat Malaysia
Tanggal 8 Maret 2008, rakyat Malaysia memberikan suaranya dalam Pemilihan Umum. Dibawah ancaman kecurangan yang dilakukan oleh rezim berkuasa UMNO-Barisan Nasional, Pemilihan Umum kali ini ternyata menjadi mimpi buruk bagi rezim berkuasa UMNO-Barisan Nasional dibawah Abdullah Badawi. Pihak oposisi telah menunjukkan kekuatan rakyat Malaysia . Walau UMNO-Barisan Nasional tetap meraup kemenangan, namun posisi UMNO-Barisan Nasional tak lagi mendominasi suara di Parlemen. Demokrasi menjadi keniscayaan di Malaysia .
Perkembangan politik di Malaysia ini tentu akan mempengaruhi juga kondisi dan situasi hak asasi buruh migran Indonesia di Malaysia. Telah terbukti, rezim berkuasa UMNO-Barisan Nasional adalah rezim yang anti buruh migran, meskipun topangan kemakmuran Malaysia dikontribusikan secara signifikan di Malaysia. Perimbangan kekuatan politik di Malaysia diharapkan akan menjadi angin segar bagi buruh migran Indonesia yang ada di Malaysia. Parlemen Malaysia tidak lagi secara sewenang-wenang memproduksi legislasi yang melegitimasi penindasan buruh migran.
Atas situasi tersebut, Migrant CARE yang sejak tahun 2004 bergandeng erat dengan kaum oposisi (baik yang tergabung dalam PKR, PAS ataupun DAP) dan gerakan masyarakat sipil (Tenaganita, SUARAM, LRC, MSN, Amnesty) di Malaysia dalam memperjuangkan tegaknya hak asasi buruh migran di Malaysia, menyatakan selamat untuk barisan oposisi Malaysia yang berhasil merebut posisi di parlemen secara signifikan. Semoga hasil ini akan terus memompa semangat perjuangan demokrasi melawan rezim otoritarian dibawah UMNO-Barisan Nasional.
Migrant CARE berharap agar barisan oposisi Malaysia juga konsisten untuk memperjuangkan hak-hak buruh migran Indonesia dan negara-negara lainnya yang bekerja di Malaysia.
Jakarta, 10 Maret 2008
Anis Hidayah
Executive Director
(081578722874)
Wahyu Susilo
Policy Analyst
(08129307964)
Alex Ong
Country Representative Malaysia
(+60163121201)
Deplu RI Kongkalikong dengan Majikan Penyiksa 4 PRT Migran di Saudi Arabia
Siaran Pers Migrant CARE
Hari ini, 5 Maret 2008, 2 PRT Migran Indonesia korban penyiksaan majikan di Saudi Arabia, yakni Tari Bt Tarsim Dasman dan Riminih Bt Surtim telah tiba di Indonesia pada pukul 10.40 WIB. Seperti yang telah diprediksi oleh Migrant CARE, kepulangan mereka menyisakan kejanggalan. Seperti yang diakui oleh pihak Departemen Luar Negeri RI, kepulangan mereka juga sekaligus menutup kasus penganiayaan keji terhadap PRT Migran Indonesia tanpa proses hukum yang tuntas.
Pihak Departemen Luar Negeri RI, seperti yang disampaikan dalam press conference hari ini, menyatakan bahwa pihak keluarga korban diminta berdamai dan tidak menuntut secara hukum pelaku penyiksaan keji dengan kompensasi uang sejumlah US$ 4000. Apakah kedaulatan tubuh perempuan Indonesia hanya dihargai dengan 38 juta rupiah?
Realitas ini tentu merupakan anti klimaks dan makin mempertegas posisi Departemen Luar Negeri RI yang terus menerus mengamini praktek impunitas (kejahatan tanpa penghukuman) terhadap para pelaku kejahatan kemanusiaan terhadap PRT Migran Indonesia di Saudi Arabia. Ini juga menjawab dugaan mengapa pihak Departemen Luar Negeri menutup akses kepada Migrant CARE (yang memang menuntut penuntasan kasus ini secara hukum) untuk mendampingi keluarga korban.
Penyelesaian kasus semacam ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia. Dan hal ini menjadi preseden buruk dalam sejarah penegakan HAM buruh migran.
Migrant CARE mengecam keras sikap Deplu RI yang memfasilitasi berlangsungnya praktek “kesepakatan damai” antara korban penyiksaan dan majikan penyiksa karena hal ini melukai rasa keadilan bagi seluruh buruh migran Indonesia dan mempertaruhkan keselamatan nyawa-nyawa warga Negara Indonesia yang bekerja di luar negeri.
Selain itu praktek “kesepakatan damai” dalam kasus Ruminih dan Tari juga mencederai kedaulatan RI sebagai Negara hukum. Dan hal ini menjadi indikasi kuat betapa political will Deplu sangat lemah dalam melakukan kewajibannya untuk melindungi buruh migran Indonesia di luar negeri.
Menyikapi hal tersebut, Migrant CARE akan segera melayangkan surat ke Komisi IX DPR RI untuk memanggil Deplu atas kegagalannya memberikan perlindungan hukum bagi warga Negara Indonesia di luar negeri.
Jakarta, 5 Maret 2008
Anis Hidayah
Direktur Eksekutif
(081578722874)
Minggu, 16 Maret 2008
Sekber BMI: Tegakkan Keadilan bagi Buruh Migran Indonesia!
Kekerasan yang menimpa Tari binti Tarsim, 27, dan Ruminih binti Surtim, 25, buruh migrant Indonesia yang bekerja di Arab Saudi kembali menyibak kelemahan-kelemahan Pemerintah Indonesia dalam memberikan perlindungan maksimum bagi seluruh warga negara, khususnya bagi BMI. Tindakan kekerasan terhadap Tari binti Tarsim dan Ruminih binti Surtim—yang masing-masing dikirim oleh PT Arya Duta Bersama dan PT Amri Margatama—terjadi di rumah keluarga besar Yahya Majeed Syagatir, pemilik sebuah peternakan, di kawasan Aflah, tiga kilometer dari Riyadh, ibu kota Arab Saudi. Selain Tari binti Tarsim dan Ruminih binti Surtim, kasus kekerasan berupa penganiayaan yang mengakibatkan kematian juga menimpa dua BMI perempuan, yakni Siti Tarwiyah binti Slamet dan Susmiati binti Abdul Fulan (Pos Kota, Kamis 6 Maret 2008)
Kasus ini bukanlah yang pertama dan sepertinya tidak akan pula menjadi kasus terakhir, kekerasan yang dialami BMI. Sebagaimana halnya kasus-kasus kekerasan sebelumnya, faktor yang mendorong terjadinya kekerasan-kekerasan seperti ini adalah tidak bekerjanya instrumen-instrumen perlindungan BMI yang dikelola pemerintah RI. Selain karena cenderung pasif, pemerintah juga terkesan tidak berani melakukan terobosan-terobosan kebijakan diplomatik, khususnya untuk menekan pihak Pemerintah Kerajaan Arab Saudi menandatangani perjanjian bilateral penempatan tenaga kerja Indonesia yang berbasis pada pengakuan dan perlindungan atas hak-hak dasar buruh migrant. Sampai saat ini, masyarakat sepertinya belum pernah mendengar adanya Memorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah Indonesia dengan Kerajaan Arab Saudi yang mengatur masalah penempatan BMI di negeri tersebut.
Berdasarkan UU Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, hak pengelolaan hari ke hari masalah penempatan BMI di Arab Saudi diserahkan pada pihak swasta—PJTKI dan agensi di Arab Saudi—yang dalam banyak hal justru cenderung melampaui bahkan melanggar ketentuan-ketentuan prinsip yang ditetapkan pemerintah. Perlindungan terhadap BMI adalah kewajiban konstitusional yang diemban pemerintah—selaku pemangku kekuasaan negara—dan tidak bisa di-swastanisasi-kan.
“Swastanisasi” atau “privatisasi” perlindungan hak terhadap BMI adalah kenyataan yang sama sekali tidak bisa kami terima dan akan terus kami gugat, sebab menempatkan komponen-komponen prinsipil hak asasi manusia dan hak asasi buruh migrant Indonesia sebagai komoditi yang nilainya bergantung pada dinamika pasar. Tindakan PT Arya Duta Bersama dan PT Amri Margatama yang tidak melakukan evaluasi dan langkah-langkah preventif dengan mengeluarkan Tari dan Rumih dari lingkungan keluarga besar Yahya Majeed Syagatir adalah salah satu bentuk contoh buruk akibat dominannya posisi pihak PJTKI selaku penyalur di atas BMI, bahkan di atas pemerintah.
Di tengah keadaan seperti ini, BMI pada umumnya, tidak diberikan keleluasaan untuk membentuk mekanisme pertahanan diri yang didasarkan pada kekuatan dirinya sendiri. Hingga saat ini, hak untuk berserikat bagi BMI, khususnya yang bekerja di Arab Saudi, tidak pernah diberikan. Selain itu, hak-hak lain; seperti hak untuk mendapatkan cuti, upah layak yang bebas dari berbagai potongan yang memberatkan, hak untuk terbebas dari tindakan xenophobia (anti orang asing), hak untuk terbebas dari segala tindakan kekerasan, hak untuk mendapatkan pembelaan yang adil dalam peradilan, serta hak-hak dasar lainnya bagi BMI, juga kerap tidak diperoleh.
Karena biaya penempatan yang terlampau tinggi dan besarnya kewenangan PJTKI dan agensi dalam menetapkan besarnya potongan gaji, tidak jarang menempatkan BMI dalam posisi seperti “bonded-labor” yang secara sosial tidak lebih dari sekadar “budak”. Rendahnya posisi tawar BMI seperti inilah yang kerap menyebabkannya berada dalam keadaan yang sangat rentan atas berbagai tindakan pelanggaran, kekerasan, pembunuhan, pemerkosaan, dan tindakan-tindakan lain yang merendahkan derajat kemanusiaan.
Keadaan inilah yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak menghendaki adanya perbaikan perlindungan bagi buruh migrant. Pihak-pihak tersebut memanfaatkan kelemahan posisi tawar BMI demi keuntungan ekonomi sesaat. Kabar mengenai adanya uang santunan sebesar US$ 4000 (sekitar Rp 32 juta) yang diberikan Yayasan Paramitra patut diduga sebagai salah satu bentuk dari upaya untuk mengambil keuntungan dari keterpurukan posisi BMI. Bukan tidak mungkin, upaya ini justru memberikan keleluasaan kepada pelaku kekerasan dan PJTKI untuk terbebas dari berbagai sanksi dan tanggungjawab karena merasa telah memberikan kompensasi yang sepadan terhadap BMI. Padahal, tindakan kekerasan seperti penganiayaan yang dialami Tari dan Ruminih adalah perkara pidana yang upaya penuntutannya dan penegakkan keadilan bagi korban hak korban yang harus dipenuhi oleh negara mana pun.
Sikap Tari binti Tarsim dan Ruminih binti Surtim yang menerima dana santunan tersebut semakin menunjukkan bahwasanya kedua BMI perempuan yang menjadi korban tersebut tidak berada dalam keadaan yang mandiri dalam menentukan sikapnya sendiri. Penerimaan santunan sebesar Rp 32 juta dari Yayasan Paramitra itu pun bisa ditafsirkan sebagai salah satu respon untuk mengantisipasi berbagai beban biaya dan utang yang kerap menimpa BMI akibat serangkaian biaya yang harus dikeluarkan para BMI sejak perekrutan, penampungan dan pelatihan, penempatan, hingga pemulangan dan repatriasi dengan keluarga asal.
Upaya pemerintah melalui Departemen Luar Negeri RI yang memulangkan kedua korban pada saat ketika proses hukum belum dilakukan akan bisa memberikan keuntungan-keuntungan hukum bagi pelaku karena korban tidak lagi bisa memberikan kesaksian secara langsung dalam proses pengadilan yang akan dilaksanakan di Arab Saudi. Dengan berpegang pada prinsip hak asasi manusia, upaya pemerintah yang cenderung menguntungkan pelaku tindakan kriminal, bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM.
Tindakan Pemerintah melalui Departemen Luar Negeri RI juga cenderung “menguntungkan” posisi Kerajaan Arab Saudi yang dalam beberapa tahun terakhir kerap mendapatkan sorotan dari badan-badan HAM internasional akibat tingginya pelanggaran-pelanggaran HAM terhadap buruh migrant. Dengan kata lain, hal ini juga menunjukkan rendahnya komitmen pemerintah RI atas penegakkan HAM di seluruh dunia. Terlebih, kasus ini pelanggaran ini justru menimpa warga negara Indonesia yang memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan perlindungan yang maksimal dari pemerintah RI.
Atas dasar paparan fakta dan analisis di atas, Sekretariat Bersama Buruh Migran Indonesia berpandangan bahwa;
1. Kekerasan yang dialami Tari binti Tarsim dan Ruminih binti Surtim adalah fenomena dari buruknya kinerja perlindungan hak bagi buruh migrant Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah RI. Fenomena ini dilatarbelakangi oleh beberapa keadaan umum dan keadaan-keadaan khusus, yang seluruhnya disebabkan oleh tidak adanya ketentuan hukum tertulis yang berdasarkan pada pengakuan dan perlindungan hak-hak buruh migrant Indonesia.
Khususnya terkait dengan masalah ini, tindakan pemerintah yang tidak secara serius mendorong adanya pembicaraan bilateral yang mengarah pada lahirnya kesepakatan bersama atau Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah RI dengan Kerajaan Arab Saudi yang berpegang pada prinsip pengakuan dan perlindungan hak buruh migrant adalah penyebab utama dari kasus-kasus kekerasan yang menimpa BMI.
2. Mengacu pada pengalaman tentang tidak efektifnya MoU-MoU bilateral yang disusun pemerintah RI dengan pemerintah dari negara-negara penerima BMI, koreksi fundamental terhadap UU No 39 tahun 2004 serta seluruh klausul MoU-MoU yang sudah ditandatangani berdasarkan UU tersebut harus segera dilakukan. Harus diingat bahwa garis kebijakan pemerintah RI dalam hal penempatan BMI—khususnya yang tertera dalam UU No 39 tahun 2004 dan peraturan-peraturan lain yang dibuat oleh Presiden serta para menteri dan jajarannya masih belum menempatkan pengakuan dan perlindungan hak BMI, bahkan cenderung menempatkan BMI semata-mata sebagai komoditi.
Koreksi tersebut harus menempatkan pengakuan dan perlindungan atas hak dan kepentingan BMI sebagai elemen yang fundamental dan tidak bisa ditawar. Koreksi tersebut juga harus memberikan kesempatan bagi BMI untuk terlibat dalam pembuatan, pengawasan, dan evaluasi kinerja perlindungan buruh migrant yang dilakukan pemerintah RI bersama pemerintah dari negara-negara penerima.
3. Lemahnya posisi tawar mayoritas BMI sesungguhnya disebabkan oleh tingginya beban kewajiban yang dipikul BMI, baik dari keluarga, komunitas, maupun negara. Sampai saat ini, stigma BMI sebagai “sumber uang” masih melekat dan menjadi “penjara” tersendiri bagi para BMI. Beban-beban akibat percaloan, kebijakan biaya penempatan yang terlampau tinggi dan tidak transparan serta tidak pula melalui konsultasi dengan BMI, serta tingginya potongan terhadap upah, yang juga kerap ditambah oleh serangkaian beban dalam proses pemulangan (terminal III), menyebabkan BMI berada dalam keadaan yang sangat buruk, bahkan cenderung mirip dengan budak. Tidak salah bila banyak kalangan menyebut fenomena BMI sebagai bentuk perbudakan paling aktual yang terjadi di era kemerdekaan seperti saat ini.
Untuk itu, kami mendesak DPR untuk segera mendorong pemerintah agar meninjau kebijakan-kebijakan yang terkait dengan biaya penempatan, menindak berbagai bentuk pemotongan illegal, dan membebaskan BMI dari jeratan utang yang muncul dalam proses penempatan BMI. Pemerintah harus memberikan jaminan perlindungan upah dan kerja layak bagi BMI.